Kapudang - Model Khas Penutup Kepala Pria Komering Cempaka


Patih Rangga (Ranggo) memiliki nama lain yaitu Puyang Pulonggang (Pulau Enggang). Jika ditelusur asal muasal nama Ranggo  berkemungkinan beliau hidup dalam dinasti Parameswara (Raja Pertama Malaka), lalu Patih Ranggo menjadi satu diantara Menteri Kerajaan Malaka tempo dulu. Hal itulah kiranya sebagai jawaban mengapa beliau disebut "patih". Adapun julukan lainnya yaitu Puyang Pulonggang, berkemungkinan karena Parameswara memberi beliau wilayah Pulau Enggang dan Patih Ranggo menjadi Phu Hyang (pertapa) di pulau tersebut. Kiranya kedua julukan tersebut "nyambung" mengingat bahwa Pulau Enggang merupakan sebuah pulau kecil di sebelah timur Pulau Tuba di Kepulauan Langkawi, Kedah. Pulau ini tidak berpenghuni dan tidak berkembang sampai kini, kecuali hanya terdapat mercusuar (Lighthouse) yang digunakan untuk menavigasi kapal ke pelabuhan di Kuah. Pulau Enggang mendapat namanya dari Burung Enggang mungkin ketika itu banyak dihuni burung-burung Enggang. Pulau paling timur di cluster ini mencakup Pulau Pasir, Pulau Nyior Setali, Pulau Selang Kecil dan Pulau Selang Besar. [http://www.asiaexplorers.com/malaysia/pulau-enggang.htm]

Kemungkinan Patih Ranggo hanya sebentar saja menempati Pulau Enggang lalu kembalilah beliau ke kampung asal yaitu Kotanegara – Komering Ulu Sumatera Selatan hingga akhir hayatnya.  Patih Ranggo dikenal di Komering Cempaka dengan nama Puyang Pulonggang. Makam Patih Ranggo pernah dipindahkan dari Kotanegara ke Cempaka karena berada ditepi kali yang tergerus air. Beliau memiliki  generasi penerus bernama Kai Sudira (Kai=Kyai) dan hingga saat ini anak turunannya sudah mencapai generasi pada level 14 (pencatatan berdasarkan anak turunan laki-laki pertama).

                         Makam Puyang Pulonggang di Desa Cempaka Komering Ulu Palembang.

Konon dijaman dahulu kala, para kepala suku  mengenakan topi dari burung Enggang yang dikeringkan dengan cara fumigasi (pengasapan). Penutup kepala dari burung Enggang itu dipasang melintang searah telinga. Bagian kepala burung berada diatas telinga kiri sedangkan bagian ekor berada diatas telinga kanan.
 

Burung Enggang (Tinggang) memiliki ciri khas tersendiri antara lain ukuran tubuh yang besar, kurang lebih dua kali ayam kampung dan memiliki paruh yang sangat besar menyerupai tanduk berwarna kuning gading, bulunya dari kepala sampai leher seperti rambut manusia. Dari kejauhan, burung ini dapat dikenali melalui suara yang parau lantang. Burung dengan ukuran tubuh yang sangat besar, dengan suara yang keras serta beberapa jenis memiliki warna tubuh yang mencolok, merupakan burung yang saat ini jarang dijumpai. Burung Enggang pada beberapa kebudayaan kuno menjadi bagian ritual religi yang melambangkan semangat hidup, kekuasaan, kesucian dan mithologi. [http://site59.wordpress.com/2011/12/15/filosofi-burung-tingang/]



Dijaman dahulu kala, bulu burung, bagian kepalanya dan lain-lain digunakan sebagai indikasi kekuasaan kepala suku atau pejabat wilayah lalu ketika jaman berganti ke-era modernisasi, indikasi/ simbol kepala suku tersebut tidak lagi memakai bulu bulu hewan namun digantikan dengan bahan-bahan tenun bahkan diperindah dan diberi citra "mahal" dengan kain tenun songket walaupun model dan bentuk masih mirip enggang hal itu hanya sekedar menjaga dan melestarikan budaya warisan nenek moyang. 

Bahan untuk membuat kapudang kini adalah kain tenun songket. Desain bentuknya mirip burung enggang sedang bertengger diatas kepala. Kedua ujungnya lancip, ujung yang satu mengarah keatas dan mirip bagian kepala Enggang sedangkan ujung yang lain mengarah kebawah dan mirip bagian ekor Enggang. Jadi asal usul bentuk kapudang yang rada mirip burung enggang tersebut memang sejak dulu adanya, sejak kehadiran Puyang Pulonggang di bumi Komering, namun secara lambat laun berganti bahan yaitu dibuat dari kain tenun songket.

Asal tau saja, bahwa kapudang itu merupakan bagian dari pakaian Pengiran (Raja) serta jajarannya (Depati/ Kai pati, Kai ria, Punggawa) lalu hingga kini diikuti pula oleh para pemangku adat Suku Komering khususnya di wilayah Cempaka. Seorang pemangku adat di Komering Cempaka mengenakan kepudang penutup kepala pada perhelatan penting termasuk pula dipakai ketika iwari Cempaka menyelenggarakan pesta pernikahan dan itu berlangsung hingga kini walaupun mitos enggang sudah kita jauhkan dari benak kita karena "mitos enggang" itu bukan lagi menjadi kebanggaan kita selaku mukmin yang menjunjung tinggi syariat Islam.
 .
 
H. Dahlan Mentri Dermawan adalah sosok Pini Sepuh Pemangku adat Komering Cempaka, beliau kini bermukim di bilangan Rimbo Kemuning Palembang bersama anak keturunannya. Beliau adalah pensiunan PNS Depkes yang selama 30 tahun menangani penderita penyakit jiwa di RS. Ernaldi Bahar Palembang. Beliau memiliki tujuh putera, diantaranya ada yang berprofesi sebagai dokter, juru rawat, arsitek, polisi, nuclear metalugist, dan ekonom.





Komentar

  1. silsilah patih ranggo ini emang sesuai sejarahnya ya mas ???... maaf nih mas setau saya patih ranggo itu punya saudara yg bernama kai sudiro... setau saya juga patih ranggo itu tdk punya keturunan dan yg punya keturunan itu kai sudiro yg tdk lain saudaranya patih rangga... maaf nih mas kalau salah...

    BalasHapus
    Balasan
    1. kai sudira itu anak dari puyang pulonggang (nama jejuluk patih ranggo), anda taunya darimana wong anda bukan anak keturunannya kok ikut campur.... hmmm.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer