ASAL MUASAL ISTILAH NINGKUK
Orang luar daerah Sumatera Selatan tentu bertanya, ningkuk itu apa dan bagaimana asal muasal istilah tersebut digunakan ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut tentu panjang ceritanya.
Ningkuk berasal dari bahasa Komering,
berawal dari kegiatan adat sosial budaya yaitu mengundang untuk melaksanakan
pertemuan, berkumpul bertatap-muka untuk bermusyawarah dan bertukar-pikiran.
Mengumpulkan dan mengajak orang hadir dalam bahasa Komering disebut sebagai
“ningkuk ko jolma”. Ketika itu pertemuan-pertemuan yang diadakan belum berhubungan dengan kesenian. Kapan adat budaya “ningkuk ko jolma” ini mulai
digalakkan ? Jawabnya adalah ketika Puyang Punggawa Pandita Radja pertama kali membangun
Kampung 11 di Kecamatan Cempaka OKU Timur.
Kampung sebelas dirintis oleh Puyang Punggawa Pandita Radja pada era tahun 1930an (ketika Belanda masih bercokol). Ketika itu Pandita Radja kalah tipis dengan Mangkoe Morga dalam pemilihan Punggawa KP-10 (Kampung Sepuluh), lalu Pengiran Tuha Komering Cempaka (dikenal dengan nama Pangeran Haji Muhammad Saleh), menyarankan kepada Pandita Radja agar mendirikan sebuah pemukiman baru yaitu KP-11 (Kampung Sebelas) dan beliau boleh menjabat sebagai Punggawa di kampung yang baru didirikan tanpa perlu proses pemilihan lagi.
Namun Pandita Radja harus turba (turun kebawah), mendatangi orang-orang yang menetap disawah dan mengumpulkan mereka yang belum memiliki rumah agar mau menetap di pemukiman baru yaitu KP-11 secara cuma-cuma tanpa perlu mengeluarkan biaya sedikitpun bahkan rumahnya akan dibuatkan secara bergotong-royong. Saran tersebut diterima Pandita Radja.
Selanjutnya beliau mendatangi para kepala
keluarga yang bermukim dan bersawah di tepi
rawa (di Limbungan, Danau, Mandala, Teluk Padi dan sekitarnya). Mereka itu
sebagaiannya ada yang berasal dari Ogan, ada yang dari Sukobumi, ada yang dari
Harisan, ada yang dari Capangtiga, ada yang dari Gunungbatu dan sebagainya.
Mereka diberi lahan gratis untuk mendirikan rumah tempat tinggal di kampung
sebelas. Oleh sebab itu kampung sebelas merupakan lokasi baru yang dihuni oleh
warga pendatang. Sehingga warga kampung sebelas merupakan warga campuran yang
sebagiannya adalah warga kampung Selawi dan sebagian lagi pendatang. Dibawah
kepemimpinan Punggawa Pandita Radja, peri kehidupan yang kompak dalam “segala
gawi” menjadikan dinamika kehidupan kampung 11 sama seperti dikampung 8, 9 dan
10.
Puyang Pandita Radja secara konsisten melaksanakan
“ningkuk ko jolma” yaitu mengundang dan mengajak warga baru kampung sebelas
untuk berkumpul bertatap-muka atau bermusyawarah dan bertukar-pikiran sambil
membangun pula keharmonisan agar warga baru tersebut merasa betah disana.
Setelah Puyang Punggawa Pandita Radja
wafat, maka diangkatlah putra beliau yaitu Hayat Djaya Sempurna yang masih
relatif muda sebagai punggawa KP-11. Lambat laun acara ningkuk ko jolma
tersebut lebih banyak dihadiri anak-anak muda dan para remaja. Semula mereka
hadir mewakili orangtua atau keluarganya.
Sejak jaman radio transistor mulai masuk ke pedesaan (1950an) maka ketika itulah acara “ningkuk ko jolma” mulai bergeser menjadi ajang kesenian dan ajang perkenalan muda-mudi (bujang gadis) yang biasanya berlanjut ke jenjang perkawinan. Pergeseran acara ningkuk ko jolma menjadi acara muda-mudi ini terus berkembang ke seantero Sumatera Selatan yang dilazimkan oleh orang-orang komering perantau guna menyemarakkan perhelatan sebelum acara pesta perkawinan anak mereka yaitu sebagai pelengkap acara penyusunan panitia perkawinan. Pada akhirnya orang-orang Sumsel pun banyak yang melaksanakan acara yang spesifik dan menarik ini menjadi sebuah acara khusus perkenalan muda-mudi yang dikenal dengan nama NINGKUK. Demikian sekilas info... wallahu’alam bisshawaf.
Komentar
Posting Komentar